Thursday 3 March 2016

Ahhh... Jazz.

Ya.. baiklah kalau begitu. Kita mulai lagi.

Ah… jazz..
Menenangkan, menghangatkan.
Mungkin itu tujuannya.
Itu tujuan mengapa mereka memutarkan yang semacam ini.
Bisa kau dengar itu?
Alunan terompet, piano…

Indah sekali, bukan?
Walau aku jujur tidak tahu lagunya.
Atau siapa pemainnya.
Tidak ada penyanyi, sih, dari tadi.
Hanya instrumen.
Tapi kau bisa tahu, di balik instrumen itu ada nyawa.
Mereka memainkannya dengan perasaan.
Entah apa.
Aku tidak punya pengetahuan ekstensif mengenai genre musik yang satu ini.
Beda dengan pengetahuanku soal toilet mana yang paling bersih di mall, Itu aku bisa bangga.
Namun aku bukan orang yang suka pamer pengetahuan, jadi tidak perlu aku buka di sini.
Toilet bioskop.
Yang lucunya, selalu diiringi musik jazz instrumental yang serupa. Mungkin genre ini tidak menjadi favoritku karena jazz juga tidak punya tempat di keluargaku. Ayah sukanya soft rock, ibu ngikut ayah aja dengerin apa, adikku? entahlah, dia masih SD.
Tapi jazz pernah menjadi perantara antara aku dan seorang siswi perempuan di sekolahku. Perempuan yang aku suka sekali, tapi tidak berani kuajak berkenalan. Klasik ya, ceritaku? Klasik dan potensial untuk dijadikan cerita novel remaja atau iklan televisi produk permen pengharum napas.
Kisah kagum anak sekolahan, karena untuk menyebut suatu kisah sebagai kisah asmara sepertinya harus ada dorongan rasa dari dua belah pihak. Tapi ini hanya dari sisiku, jadi ya begitulah. Tahu kaca polisi di ruang interogasi kan? Yang hanya bisa dilihat dari satu sisi? Polisi bisa memperhatikan proses interogasi sementara yang di ruang interogas—Ya, kau paham maksudku.
Ah, musik semacam ini membawa pikiranku jauh. Jauh ke masa-masa aku berkenalan dengan perempuan itu.
Banyak detil yang aku ingat dari perempuan itu. Suka pakai sepatu velcro ungu muda kalau ke sekolah. Kalau upacara bendera hari Senin, itu artinya dia ada di barisan ketiga dari depan, paling sebelah kanan arah barat daya dari tempatku biasa berbaris.
Ya, ya, apa hubungannya perempuan ini dengan musik jazz. Sebentar lagi aku akan sampai ke sana. Aku sedang berusaha untuk membuka cerita dengan latar belakang yang lebih lengkap.
Pipinya merah. Mungkin merah alami, atau mungkin juga aku tidak tahu umur berapa seorang anak perempuan mulai mau memasang blush-on. Rambutnya panjang sepinggang. Aku tahu semua ini karena aku sekelas dengannya.
Awalnya aku kira aku tidak bisa lebih suka lagi kepada perempuan ini, sampai akhirnya suatu hari di akhir caturwulan kedua tahun 2006, hari unjuk bakat di depan kelas mengubah duniaku.
Terdengar fenomenal ya? Mungkin aku berlebihan. Duniaku tidak berubah. Masih seperti yang lama. Rambu lalu lintas masih banyak yang tertutup pohon dan staff meja ‘informasi’ di mall-mall ibukota masih belum bisa menjawab setiap aku tanya, ‘Mall ini dibangun tahun berapa?’
Hari itu guru kami meminta kami untuk mempersiapkan sebuah pertunjukan individual di depan kelas. Boleh apa saja. Boleh menyanyi, membaca puisi, dan sebagainya. Singkat cerita, perempuan ini memilih untuk memainkan alat musik. Alat musik yang aku sendiri belum pernah lihat sampai hari itu. Clarinet, namanya.
Dan percayalah, ia memainkannya dengan begitu indah. Indah sekali sampai aku merasa ada sesuatu di tenggorokanku yang ingin sekali aku muntahkan (Bukan ide yang bagus untuk iklan permen pengharum napas.)
Permainannya sangat cantik, sampai-sampai aku tanpa sadar memasukkan kertas berwarna yang aku bawa ke dalam saku. Gila, dibandingkan dia, kalau aku maju ke depan kelas dan mempertontonkan bahwa aku bisa seni origami, sih.. lebih baik aku bilang aku tidak bisa apa-apa.
Selesai ia bermain, satu kelas bertepuk tangan. Ibu guru kami juga. Dan ketika guru kami menanyakan, ‘Apa itu tadi yang kau mainkan?’
Ia menjawab singkat, ‘Jazz, Bu.’
Jazz. Jadi itu namanya?
Jazz.. 
Kagum. Suka. Semuanya. 
Tapi aku tidak pernah benar-benar tahu namanya. Padahal kami sekelas. Aneh? Ya memang. Untuk orang-orang seperti akulah permen pengharum-napas-pemberi-percaya-diri diciptakan.
Maka kuputuskan hari itu, keadaan akan segera berubah.
Selesai dering bel pertanda istirahat, langsung kudekati dia dan kukatakan, ‘Kamu hebat sekali.’
Dia tersenyum dan berkata, ‘Terima kasih. Aku les.’
Tidak heran kenapa dia bermain begitu lancar. 
Dan aku yakin ia pun akan menjadi guru les clarinet yang hebat suatu hari nanti jika ia mau mempertimbangkan itu sebagai karir. 
Dan, aku akan memastikan aku adalah muridnya hanya supaya aku bisa menghabiskan waktu bersamanya. Tapi bukan itu alasan aku berani menghampirinya hari ini, bukan.
‘Siapa namamu?’ aku langsung bertanya tegas.
Lalu dalam satu simpul senyum, ia mengulurkan tangan.
“Namaku—“
[BEEP]
“Bapak Ekky..,”
“Err.. Ya?”
“Baik, terima kasih atas kesediaannya untuk menunggu. Kami baru saja melakukan pengecekan di sistem kami. Untuk reservasi Bapak, sepertinya reservasinya masih belum masuk di sistem kami, Pak..”
“Yakin, Mbak? Soalnya saya sudah lama booking ke Pak Hendra untuk reservasi 2 kamar 3 malam di hotel Amaris. Dan Pak Hendranya juga sudah bilang deal. Mau saya tunjukan pengiriman emailnya?
“Begitu ya, Pak? Baik, sebelumnya saya minta maaf ya Pak...”
“Mbak, kalau begitu bisa sambungin ke bagian reservasinya?”
“Bisa, Bapak..”
“Iya, saya butuh cepat, nih. Urusan kerjaan.”
“Baik, saya sambungkan ya Pak.”
“Ya, silakan.”
“Mohon ditunggu..”
[BEEP]
Dan musik pun berputar kembali.
Ya.. baiklah kalau begitu. Kita mulai lagi.
Ah… jazz..
Menenangkan, menghangatkan.
Mungkin itu tujuannya.
Itu tujuan mengapa mereka memutarkan yang semacam ini.
Agar pengaduan pelayanan tidak penuh emosi. Terutama di jeda menunggu seperti ini.
Jadi..sampai mana tadi nostalgia saya?

No comments:

Post a Comment